Sabtu, 21 Juni 2014

Sabtu, 21 Juni 2014

Happy satnite Z :) selamat bermalam minggu bagi mereka yang merayakan :D

Entah ini malam minggu ke berapa yang kita lewati sendiri-sendiri, kamu disana dan saya disini. Gak masalah, yang penting kita tetap bisa bertemu. Iya, disini. Di hati :).
Sabtu malam kali ini perasaan saya cukup baik-baik saja, mungkin karena kemarin kita baru bertemu. Andai saja bisa tiap hari ketemu, pasti perasaan saya akan selalu baik-baik saja. Sabar, kita harus sabar menunggu sampai halal :)

Kali ini saya lagi ingin menyendiri. Bukan, bukan menyendiri untuk berpikir yang aneh-aneh yang seperti kamu kira. Saya menyendiri untuk merenungkan apa yang kamu sampaikan kemarin. Mencoba untuk kembali mempertimbangkan, memilih dan meyakinkan apa yang akan saya jalani kelak. Semua memang sudah terlihat rumit dari awal dan semakin terasa sulit ketika kita jalani tapi syukur Alhamdulillah hingga detik ini komitmen kita masih berjalan. Alhamdulillah. Semoga Allah memang meridhoi dan merestui kita, Amin. Meski begitu, tetap ada masa-masa sulit yang sudah kita lewati dan yang sedang menanti kita di depan sana. Tanah tak selalu padat mengalasi. Angin tak selalu sejuk meredakan. Air tak hanya cair menyegarkan. Dan api pun tak sekedar hangat menghantar. Semua punya masa sulitnya masing-masing, punya titik rendahnya sendiri. Apalagi kita, benda bernyawa yang diberi kepercayaan oleh Allah SWT untuk bisa berpikir. Tentu ujian, masalah, tantangan akan semakin ada dan nyata. Semoga kita selalu bisa menghadapinya. Amin

Usia saya baru akan menginjak angka 21 tahun. Iya, dua puluh satu tahun. Angka yang sudah tidak bisa dikategorikan sebagai remaja lagi. Usia yang seharusnya sudah mulai belajar untuk menjadi seorang yang dewasa. Sudah tidak pantas bagi saya kalau masih merengek minta sesuatu, bertingkah manja seperti anak-anak, dan mengambil keputusan dengan asal seperti remaja. Semua keputusan yang saya ambil harus saya pikirkan baik buruknya, harus saya pertimbangkan dengan seksama. Termasuk keputusan untuk berkomitmen dengan kamu. Semua sudah saya pertimbangkan. Meski terkadang saya masih suka merasa kaget dan bertanya pada diri sendiri, "Kok bisa ya saya seberani ini ?" "Kok bisa sih saya sama kamu ?" "Kok bisa ya saya seyakin ini ?" "Kok bisa sih ?". InsyaAllah, semoga apa yang telah saya pilih dan yang sebagiannya telah saya jalani itu benar.

Kemarin malam entah kenapa saya teringat dengan kalimat "Bhineka Tunggal Ika". Itu semboyan negara kita, kalimat yang artinya "Berbeda-beda namun tetep satu jua". Kalimat yang menyatukan kita semua dari Sabang sampai Merauke untuk satu tujuan bersama demi kemakmuran negara. Memang itu hanya semboyan negara, bukan semboyan dari komitmen kita. Karena kalau saja kalimat itu jadi semboyan kita, mungkin perbedaan kita sudah bukan masalah yang berarti, perbedaan kita tidak menyulitkan kita untuk mencapai jua yang sama-sama kita tuju, dan perbedaan kita tidak akan memberi jarak diantara rencana dan tujuan kita.

Banyak hal yang masih harus kita lewati, banyak hal yang harus kita lalui tapi semua itu hanya akan jadi beban berat jika hanya kita pikir, pikir dan pikirkan setiap hari. Biar saja semua berjalan sesuai kehendak-Nya, percaya pada hati dan takdir sang Maha Kuasa. InsyaAllah tidak akan ada yang sia-sia karena Allah yang telah mempertemukan kita...

Rabu, 04 Juni 2014

Persentase Rasa

Sekarang pukul 10:02 malam waktu yang ditunjukkan gadget-ku saat aku mulai menulis semua ini. Pasti saat ini kamu masih sibuk bergelut dengan rutinitasmu yang padat dan serba menyita waktu. Iya, menyita waktumu. Yang terkadang membuat ku merasa diduakan oleh mu. Entah kekuatan apa yang masih membuatku percaya, tapi yang pasti aku bersyukur masih memiliki sesuatu yang membuatku memercayaimu.

Aku selalu ingin mencuri waktumu. Menyita perhatianmu. Semata-mata supaya aku bisa menggantikan posisi rutinitas yang selalu kau temani seharian penuh atau hanya untuk satu jam saja.

Sudah hampir satu tahun aku begini. Delapan bulan. Kalikan tiga puluh. Kalikan dua puluh empat. Kalikan enam puluh. Kalikan enam puluh. Kalikan enam puluh lagi. Maka kau akan mendapatkan angka 1.244.160.000. Itu belum termasuk tambahan dari bulan dengan jumlah hari berlebih.

Itulah banyaknya milisekon sejak pertama aku mulai belajar memercayaimu dan milisekon sejak ke sekian kalinya aku jatuh cinta padamu. Tentunya semua itu terlalu berlebihan aku jabarkan, karena kenyataannya kamu hanya memberiku tak lebih sepuluh menit dari seribu empat ratus empat puluh menit dalam sehari untuk sekedar saling bertukar kabar. Selebihnya, waktumu akan kau sumbangkan cuma-cuma untuk rutinitasmu. Kekurangannya selalu kau bayar lunas ketika kau libur. Setengah dari hari liburmu hampir selalu kau luangkan untukku. Dan lagi, aku luluh dan memercayaimu.

Mengertilah, tulisan ini bukan bertujuan untuk merayu atau malah menghakimimu. Kejujuran sudah seperti masakan ekstra garam, tak terbayang untuk menambahinya dengan rayuan. Angka miliaran tadi bukan sebuah gombalan, melainkan fakta matematis dari ketulusan cinta yang logis. Cinta mampu memasuki dimensi rasa, logika, bahkan angka sekaligus.

Sekarang pukul 11:18 malam masih dari gadget-ku. Sudah tujuh puluh enam menit aku menulis. Menyumbangkan lagi 273.600 milisekon ke dalam rekening waktu ku. Terima kasih. Seandainya bisa ku tambahkan satuan dolar atau satuan kilogram emas di belakangnya pasti aku sudah kaya. Mungkin cukup untuk menggantikan hasil dari rutinitasmu itu agar engkau bisa selalu bersamaku. Namun sudah pasti semua itu tak kan bisa menggantikanmu yang tak ternilai. Engkau adalah awalan, akhiran dan segalanya yang menghubungkan. Tidak dolar, tidak juga miliaran kilogram emas mampu menggantikan.

Cinta punya fakta matematis. Kau sendiri yang pernah bilang, komitmen ini berjalan dengan satuan persen untuk kepercayaan dan kasih sayang. Persentase yang katamu melebihi sempurnanya angka seratus persen dan tak terbatas jumlah nol di setiap pangkalnya. Persentase dengan rumus tersendiri yang hanya diketahui oleh masing-masing di antara aku dan kamu. Dan yang pada akhirnya akan menyatukan kita selamanya, sehingga aku dapat mengiringi rutinitasmu setiap harinya. Mulai dari membangunkanmu di pagi hari, membuat sarapan, mengantarmu pergi memulai aktivitas, mengobrol ringan saat makan siang, menonton acara tv, minum teh, hingga melihat wajah polosmu saat kau tertidur lelap di malam hari.

Saat ini semua hanya bisa aku bayangkan, kenyataannya entah siapa yang sekarang ada bersamamu. Mungkin bantal dan guling yang akan menemani tidurmu, atau handphone dengan alarm yang siap untuk menyambut pagi harimu. Terkadang, benda-benda mati justru mendapatkan apa yang paling kita inginkan, dan tak sanggup kita bersaing dengannya. Membuatku iri membayangkannya.

Kini, izinkan aku tidur. Menyusulmu ke alam abstrak di mana segalanya bisa bertemu. Sekali saja, izinkan aku bermimpi. Memimpikan saat dimana persentase cinta berada pada titik yang menyatukan kita.

Tiada hal yang lebih indah dari cinta dua orang di pagi hari. Saat aku membangunkan mu dengan muka berkilap, bau keringat, mulut asam dan wajah yang tercetak kerut sarung bantal. Dan kau bangun mengecup keningku seraya berkata "selamat pagi".